Bung
Karno pernah menantang, “Berikan kepadaku seratus orang tua, akan ku taklukkan
puncak Semeru. Berikan kepadaku sepuluh pemuda, akan ku taklukkan dunia.” Bung
Karno memposisikan pemuda sebagai elemen penting perubahan. Dengan gelora yang
tinggi dan semangat membaja, pemuda dapat melakukan banyak hal untuk membangun
masyarakat. Terkait hal ini, sebagai salah satu elemen pemuda, maka Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagaimana harapan Bung Karno dapat menjadi
bagian penting perubahan. Jangankan puncak Semeru, dunia dapat diguncangkan
kader-kader IMM.
Siapakah
IMM sebagai agen perubahan itu? Pertanyaan kecil ini dapat dijawab dengan
menelusuri karakteristik IMM. Di antara keputusan-keputusan resmi yang dapat
dijadikan landasan normatif kajian tentang IMM salah satunya adalah Mukaddimah
Anggaran Dasar IMM. Dalam Mukaddimah itu kelihatan watak IMM yang sesungguhnya.
Terdapat beberapa poin penting yang dapat menjadi standar acuan kader-kader IMM
dalam bertindak.
Pertama,
kutipan Surah al-Faatihah. Apa pentingnya Surah ini dikutip dalam Mukaddimah?
Surah al-Faatihah disebut pula ummul
kitaab (Ibu Alquran). Dengan kata lain, gambaran global Alquran dapat
dilihat dari kandungan al-Faatihah. Selain itu al-Faatihah mengandung
nilai-nilai tauhid yang murni, karena ketauhidan adalah hak Allah. Di sini
kader-kader IMM diharapkan memiliki tauhid murni, tidak bercampur dengan
berbagai model syirik, baik syirik teologis, syirik kultural, syirik struktural
maupun syirik sosial.
Sebagai
Ummul Kitaab, al-Faatihah kaya
nilai-nilai. Misalnya nilai-nilai ritual dan sosial. Hal ini dapat dilihat dari
penggalan kalimat na’budu, menunjukkan
ritualisme yang diwujudkan melalui shalat, puasa, dan nasta’iin, menunjukkan bentuk
kepasrahan kepada Allah. Persoalan pertama dan terpenting dalam ber-IMM adalah
pengakuan akan kebesaran Allah, bukan IMM itu sendiri. Tauhid kader-kader IMM
harus kuat dan ibadahnya harus tertib. Perkaderan yang sesungguhnya bukan terletak
pada Darul Arqom Dasar (DAD), Darul Arqom Madya (DAM) dan Darul Arqom Paripurna
(DAP), melainkan implementasi nilai-nilai tauhid dan praktik ibadah yang
dilakukan secara konsisten.
Tauhid
yang kuat dan ibadah yang tertib dimulai dari masjid. Integrasi antara kegiatan
yang dilaksanakan IMM dengan masjid adalah sesuatu yang tak dapat dihindari.
Masjid mesti menjadi basis kekuatan IMM. Di dalamnya digodok berbagai ide
bernas dan dari sana langkah gerakan dimulai. Masjid juga merupakan simbol
keislaman yang melekat dalam tubuh IMM. IMM adalah gerakan kemahaiswaan Islam,
berada di lingkungan Islam dan berjuang untuk kepentingan Islam. Sebab itu,
rasa asing terhadap masjid adalah sesuatu yang asing. IMM harus dengan masjid
bukan tanpa masjid.
Kata
na’budu dan nasta’iin (kami menyembah dan kami mohon pertolongan)
mengisyaratkan kebersamaan. Hal ini penting dimengerti. Kebersamaan selalu
melahirkan kekuatan. Apapun kegiatan yang dilaksanakan dan seberat apapun
masalah yang dihadapi, jika kebersamaan menjadi acuan, maka banyak hal yang
dapat dilakukan. Melihat pentingnya kebersamaan ini, maka konflik internal,
mosi tidak percaya, kepemimpinan tandingan, tidak memiliki akar-akar teologis.
Kedua,
IMM sebagai gerakan dakwah. Sebagai gerakan dakwah maka IMM melakukan berbagai
gerakan yang bermanfaat bagi banyak pihak. Gerakan
terambil dari akar kata gerak yang
berarti hidup. Hidup adalah sebuah
keadaan tidak mati. Jika IMM tanpa gerakan sama artinya ia sudah mati. Sebagai
gerakan dakwah, maka IMM dapat melaksanakan aktifitas di berbagai dimensi,
tentu yang masih terkait dengan predikatnya sebagai mahasiswa. Dakwah dalam
konteks ini dapat dipahami secara luas, bukan hanya sebatas ceramah dan
pengajian.
IMM
diisi oleh para kader yang berasal dari berbagai latar belakang ilmu.
Masing-masing kader dapat mengamalkan ilmunya di lingkungan kampus atau
lingkungan masyarakat. Aktifitas demikian dapat dikelompokkan pada gerakan dakwah.
Oleh sebab itu, setiap kader IMM adalah da’i, minimal bagi dirinya sendiri.
Karena berpredikat sebagai da’i maka kader-kader IMM mesti mematangkan pikiran
dan perilaku terpuji.
Ketiga,
hubungan IMM dengan Muhammadiyah. Secara organisasional dan ideologis, IMM
tidak bisa menjauh dan dijauhkan dari Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah, IMM
merupakan lapisan elit dimana berbagai ide-ide bernas disemai dan gelontorkan.
Muhammadiyah menjadikan IMM sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna dakwah
Muhammadiyah. Diktum tersebut perlu dipahami dengan baik, tidak mungkin dakwah
Muhammadiyah bermuara pada hasil maksimal sekiranya mengabaikan IMM.
Sebagaimana
Muhammadiyah, IMM adalah gerakan tajdid yang memainkan peran sebagai
stabilisator. Peran ini menjelaskan posisi IMM sebagai penyeimbang keadaan. Ini
posisi yang mulia. IMM dalam konteks seperti ini menjadi rahmatan lil Muhammadiyah (rahmat bagi Muhammadiyah). Integrasi IMM
di Muhammadiyah benar-benar merupakan blue
print (cetak biru Allah). Sebab selain berperan sebagai stabilisator IMM
merupakan anugerah terbesar bagi Muhammadiyah, mengingat kader-kader IMM adalah
lapisan masyarakat terdidik yang mendapat julukan “maha”. Inilah salah satu
keunikan dan credit point (nilai
tambah) bagi IMM.
Hubungan
IMM dengan Muhammadiyah perlu dirawat dari waktu ke waktu. Hubungan ini juga
meniscayakan bahwa setiap kader IMM adalah kader Muhammadiyah. Ironi dapat saja
muncul sekiranya kader IMM mengambil jarak dengan Muhammadiyah. Apabila ini
terjadi maka dapat dipastikan kader tersebut seperti sosok intelektual yang tak
mengenal jadi dirinya. Kader seperti ini bukan saja menjadi pribadi yang tak
punya visi, tapi juga pribadi yang kerap melahirkan masalah.
Kekhawatiran
tersebut muncul karena bergerak dari kenyataan. Ada kader IMM yang mengenal
Muhammadiyah ketika ber-IMM, namun enggan mematangkan ke-Muhammadiyahannya di
Muhammadiyah. Kader seperti ini merasa besar di IMM namun tidak menyadari siapa
orang tua yang telah membesarkannya. Berbagai kegiatan di Muhammadiyah tak
pernah ia ikuti, mulai dari ranting, cabang, daerah maupun wilayah. Jika ini
terjadi, maka pertanyaan yang muncul adalah untuk apa ia ber-IMM? Padahal
sesungguhnya IMM adalah anak panah Muhammadiyah. Situasi seperti ini akan
melahirkan apa yang disebut anomali ideologi, dimana kader IMM tak mengenal Muhammadiyah.
Dalam
Anggaran Dasar (AD) IMM pasal tujuh secara tegas dinyatakan bahwa IMM bertujuan
untuk membentuk akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai
tujuan Muhammadiyah. Sementara substansi tujuan Muhammadiyah adalah menjadi
pengawal dan pengamal agama Islam yang bermuara pada lahirnya komunitas
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. AD IMM ini tidak boleh dikubur dalam
lorong waktu dan dilupakan di buritan kegiatan. AD IMM dalam hal ini menjadi
semacam jangkar bertambat. IMM dalam keadaan bagaimanapun tetap terkoneksi dan
terintegrasi dengan Muhammadiyah.
AD
tersebut juga sebenarnya menyatakan bahwa tidak ada kegiatan IMM yang tidak bersinerji
dengan Muhammadiyah. Rasa lebih sebagai komunitas terpilih dan terdidik karena
berpredikat “maha” sedapat mungkin dieliminir. Predikat tersebut sesungguhnya
menuntut kesiapan pikiran dan kesantunan berperilaku agar dapat menjadi teladan warga
Muhammadiyah dan tentu saja masyarakat umum. Tantangan terbesar IMM adalah pola
pikir dan karakter yang dipraktikkan kader-kader IMM itu sendiri. Opini yang
sering menggiring orang berkesimpulan negatif terhadap kader-kader IMM mesti
dihempang dengan aktifitas-aktifitas yang sejuk, lembut dan merangkul berbagai
pihak.
IMM
juga merupakan dinamisator bagi Muhammadiyah. Dinamisator memiliki akar kata
yang sama dengan dinamis, yang secara sederhana berarti selalu bergerak, dan
seakar dengan dinamika yang berarti pergerakan. Ini berarti IMM merupakan wadah
dimana kader-kader Muda Muhammadiyah bergerak dan melakukan pergerakan. Siklus
gerakan IMM berangkat dari Muhammadiyah dan bermuara untuk kepentingan
Muhammadiyah. Jangan ada kesan IMM tanpa Muhammadiyah. IMM tanpa Muhammadiyah
berarti melawan kesejatian dirinya. IMM
lahir di Muhammadiyah, berkembang untuk Muhammadiyah, dan aktifitas yang
dilakukan bermuara untuk kepentingan Muhammadiyah.
Responsibilitas
kader IMM sebagai warga persyarikatan wajib ditanamkan dari waktu ke waktu.
Kepribadian IMM adalah kepribadian Muhammadiyah. Sebuah kepribadian yang
diformat dari nilai-nilai suci Alquran dan hadis. Alquran mesti didekati setiap saat, dan hadis harus
menjadi pedoman tehnis dalam bersikap. Rasa asing terhadap Alquran bukan kultur
IMM. IMM hidup dalam dekapan Alquran. Kesadaran normatif ini pada akhirnya
berujung pada lahirnya kader-kader yang berilmu amaliyah dan beramal ilmiah. Bertanggung
jawab kepada persyarikatan dan tentunya kepada Allah. Demikian semoga
bermanfaat. Wallaahu a’lam.
4 komentar:
Membaca tulisan ini. bukan sedang membuang waktu.
sejatinya inilah bingkai yang telah dirancang, kita juga berharap semoga Muhammadiyah baik secara pribadi maupun keorganisasian juga membaca dan mengerti akan pesan penulis ini, sehingga kepaduan itu tidak terkesan meretak,sebab susah betul apabila secara serta merta menyalahkan anak/kaum muda itu sendiri.orang tua harus terlibat dalam urusan anak secara bijak, pertengkaran 2 anak dlm keluarga selain faktor eks juga sebab terjadi intervensi yang tidak bijak.
alhamdulillah saya mendapat pencerahan dari tulisan ini.
Terima kasih para sahabat yang sudah memberikan respon. Jazakumullah khairul jaza...
Posting Komentar