Dahulu kala hiduplah seorang tukang emas yang sangat ahli dalam
membuat berbagai ukiran dari bahan dasar emas. Namanya cukup masyhur di
seantero negeri. Berbagai kalangan, khususnya kaum elit, pernah datang kepadanya
untuk dibuatkan cincin, anting, gelang dan sebagainya. Berpuluh-puluh tahun ia
menekuni profesi itu. Tak hanya cakap
dalam persoalan emas, tukang emas itu juga sosok yang arif dan bijaksana.
Berbagai hikmah selalu muncul dari pemikiran-pemikirannya. Seiring dengan
perjalanan waktu, tukang emas itu telah memasuki usia senja. Setiap orang
merasa khawatir jika suatu saat ajal tiba belum ada ahli waris maupun
orang-orang terdekat yang memiliki keahlian seperti dirinya.
Rasa khawatir juga menghinggapi perasaan sang raja. Dengan cepat ia
mendatangi rumah tukang emas itu agar membuatkan sebuah cincin untuknya.
Permintaan sang raja tentu saja disanggupi oleh tukang emas itu. Dalam waktu
satu pekan, cincin pesanan sang raja selesai dikerjakan. Tukang emas itu
berangkat ke istana untuk menyerahkan cincin istimewa tersebut. Hati sang raja
senang gembira menerima cincin pesanannya. Namun ia merasa, ada sesuatu yang
harus disempurnakan. Raja kemudian meminta tukang emas itu untuk menuliskan
sebuah kalimat yang dapat menjadi renungan bagi sang raja.
Dalam perjalanan pulang, tukang emas tersebut berpikir keras
mengenai kalimat yang efektif dan efisien untuk cincin sang raja. Akhirnya ia
menemukan ide, kalimat yang ditulis pada cincin itu mesti singkat namun
spiritnya senantiasa diharapkan tetap hidup. Kalimat yang dipilih tukang emas
itu adalah “this too shall pass” yang berarti “ini juga akan berlalu”.
Tukang emas itu bergegas ke istana menyerahkan cincin tersebut. Sang raja
kemudian memakai cincin pesanannya tanpa mengetahui makna yang tersembunyi di
sebalik kalimat yang melekat.
Sampai pada suatu hari, raja dirundung masalah yang cukup berat. Ia
duduk di tepi kolam memikirkan berbagai jalan keluar yang harus ditempuh untuk
menyelesaikan masalahnya. Tanpa ia sadari, matanya menatap tulisan di cincin
hasil karya tukang emas itu. Kali ini sang raja merenungi apa makna tersembunyi
di sebalik kalimat “this too shall pass”. Setelah dicermati dan
direnungi, barulah sang raja mendapatkan jawabannya. Bahwa seberat apa pun
sebuah persoalan yang terjadi pasti akan berlalu dan selalu ada jalan keluarnya.
Raja pun kemudian berhasil keluar dari beban berat yang menghimpitnya.
Kini sang raja seolah mendapat sebuah pegangan berharga dalam
hidup. Ia berusaha menjadi sosok yang arif dan bijak seperti si pembuat cincin
itu. Satu malam, sang raja menghadiri sebuah pesta mewah yang juga dihadiri
para bangsawan dan raja-raja. Ketika
hendak menyantap hidangan, tulisan di cincin yang ia pakai terbaca olehnya. Ia
pun sadar, bahwa pesta mewah yang ia hadiri juga akan segera berlalu. Ia juga
berkesimpulan bahwa predikat sebagai raja yang ia sandang saat itu juga pasti
berlalu. Demikian pula dengan jatah hidup yang ia jalani tentulah akan sampai
batas akhir. Ia akan melalui hidup di dunia dan kemudian mati, lalu hidup di
negeri lain. Sejak saat itu, raja berupaya memberikan yang terbaik untuk
kepentingan seluruh negeri. Ia membaktikan dirinya untuk mewujudkan keadilan
dan kemakmuran. Ia bertekad kuat mengisi hari-harinya dengan berbagai
kebajikan. (Dikutip dari Komaruddin Hidayat, The Journey of Life (2013)
dengan bahasa yang disadur oleh penulis).
Demikianlah, tulisan yang terdapat pada cincin sang raja ibarat marka yang menjadi peringatan selama perjalanan
hidup. “This too shall pass” telah memberi makna yang demikian dalam. Jika diterjemahkan
secara bebas, kalimat itu dapat diartikan “semua yang ada di dunia ini pasti
akan berakhir karena itu segala sesuatunya tidak ada yang kekal”. Begitu pula
dengan hidup yang sedang kita jalani pasti akan berlalu. Kita akan menghadapi
kematian. Dunia suatu saat berubah menjadi masa lalu kita. Jabatan yang melekat
pada diri kita juga seperti itu, suatu saat akan kita tanggalkan. Harta yang
kita miliki tidak selamanya menjadi milik kita, boleh jadi ia hilang atau suatu
saat diambil orang. Berbagai kesusahan yang kita hadapi juga tidak selamanya
berlangsung, suatu saat pasti akan berakhir. Mungkin kesusahan itu berganti
kesenangan dan kebahagiaan.
Roda kehidupan akan terus berputar. Boleh jadi datang satu masa
kepada kita di mana pada masa itu kita berada di puncak karir, puncak kejayaan
dengan harta berlimpah dan jaringan yang luas. Segala sesuatunya dapat kita atur
hanya dengan menggunakan jari telunjuk kita. Namun masa itu tidak selamanya dapat
kita genggam. Boleh jadi masa itu berganti sebaliknya: kekurangan harta benda,
perkataan tidak lagi didengarkan orang, memo tidak berharga. Jadilah diri kita
seperti kebanyakan orang, datang tidak menggenapi dan pergi tidak mengurangi.
Itulah sifat kehidupan dunia, berjalan secara linier dan berbagai
pernak perniknya datang dan pergi silih berganti. Dunia dengan segala isinya
tidak ada yang abadi. Dalam Alquran ketidakabadian itu disebut dengan faan
(kefanaan). Semua yang ada di alam semesta ini akan berlalu, binasa, punah, hancur
atau hilang kecuali Allah sendiri. Allah menjelaskan, “kullu man ‘alaihaa
faan” “setiap yang ada di dunia akan fana” (Q.S. Al-Rahmaan/ 55: 26).
Kata faan mengesankan bahwa periode kehidupan di dunia satu waktu tidak
berlaku lagi. Setelah itu akan datang sebuah periode baru kehidupan yang
memberikan ganjaran dan balasan terhadap berbagai aktivitas dalam periode
kehidupan dunia yang sudah berlalu.
Pada ayat lain Allah juga menjelaskan bahwa “hari-hari” selalu
dipergilirkan dalam kehidupan manusia (Q.S. Ali-Imraan/ 3: 140). Ini
artinya hari-hari bersifat baharu. Hari membahagiakan yang pernah singgah dan
kita rasakan dalam hidup pasti berlalu. Demikian pula dengan hari-hari di mana
dada kita terasa sesak, bahu kita terasa cukup berat memikul rentetan masalah
dan beban hidup yang dijalani, namun semua itu akan berlalu pula. Ayat ini juga
memberikan pelajaran penting bagi kita agar kita tidak terlalu bergembira
dengan kesenangan yang dimiliki dan tidak terlalu bersedih dengan kesusahan
yang mendera, boleh jadi keduanya datang dan pergi silih berganti. Kejayaan
tidak boleh membuat kita lupa diri dan keterpurukan tidak boleh membuat kita
meratap. Kita mesti bersikap sewajarnya menghadapi dua keadaan berbeda tersebut.
Oleh sebab itu, berbagai asesoris dunia seperti: usia, pangkat,
jabatan, harta benda, kecantikan, sebelum berlalu harus kita gunakan untuk
sarana beramal shaleh. Demikian pula dengan kegagalan dan berbagai kesedihan
yang kita alami, harus dijadikan sarana pendewasaan diri dan cermin evaluasi. Keseluruhannya
bersifat temporer. Rasulullah sudah mengingatkan bahwa dunia beserta segala
isinya berlangsung hanya sekejap saja. Beliau mengumpamakan dunia seperti
sebuah pohon yang rindang, tempat berteduh sejenak ketika cuaca panas. Setelah
panas reda, pohon rindang itu pasti ditinggalkan orang. Betapa berubah dan sekejapnya
dunia ini. Kita merupakan musafir yang sedang menempuh perjalanan sebenarnya,
yaitu perjalanan menuju Allah. Dunia adalah tempat berteduh atau singgah
sebentar dalam perjalanan karenanya harus dimanfaatkan secara proporsional
sebelum berlalu. Allaahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar