Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi tajdiid. Secara
etimologi, tajdiid dapat diartikan dengan purifikasi maupun dinamisasi.
Purifikasi ditujukan untuk memurnikan ajaran Islam dari berbagai keyakinan yang
dapat menodai keimanan maupun meluruskan ritualisme yang melenceng. Di
lingkungan Muhammadiyah, kata-kata seperti: takhyul, bid’ah dan churafaat
(TBC) cukup populer. Pada ranah inilah tajdiid dalam pengertian
purifikasi ditujukan. Sementara tajdiid dalam pengertian dinamisasi
ditujukan pada berbagai ranah selain keimanan dan ritualisme. Baik purifikasi
maupun dinamisasi masing-masing bergerak menjauh, namun saling menguatkan. Purifikasi
bergerak ke belakang, sementara dinamisasi bergerak ke depan.
Tajdiid dengan dua
maknanya yang integral tersebut menjadi bagian dari kekuatan Muhammadiyah.
Itulah sebabnya organisasi ini mendapatkan demikian banyak predikat yang
disematkan oleh para pakar. Misalnya saja Deliar Noer menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
modern. Abu Bakar Atjeh menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi.
Clifford Geertz memberikan predikat sebagai organisasi sosial kultural.
Azyumardi Azra bahkan menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi civil Islam
terbesar di dunia dalam bidang pendidikan.
Dalam proses perjalanan waktu, tajdiid dalam pengertian
purifikasi menguat dan mendapat respon positif. Variabel utamanya karena keislaman
masyarakat masih sinkretik. Sebab itu perlu dilakukan purifikasi. Sifat
purifikasi umumnya kurang toleran dan tertutup. Keadaan ini menggelinding seperti
bola salju (snow ball), semakin lama semakin besar dan berlangsung
selama puluhan tahun. Hal ini berpengaruh pada mind set warga
Muhammadiyah. Organisasi ini secara perlahan dikenal sebagai gerakan yang tertutup,
kaku dan tidak kompromistis.
Melalui Majelis Tarjih lahirlah Himpunan Putusan Tarjih (HPT). HPT
berisi tuntunan tentang akidah dan ibadah maupun mu’amalah. Patut diapresiasi,
bahwa di Muhammadiyah terdapat panduan dalam memahami dan menjalankan Islam.
Tapi perlu pula disadari bahwa HPT bagi sebagian kalangan dianggap kitab yang sakral.
Jika hal ini dilakukan secara berlebihan maka akan lahir fanatisme yang
kebablasan. HPT turut membentuk mind set warga Muhammadiyah. Mestinya
HPT tetap diposisikan sebagai produk intelektual yang tidak kebal peninjauan.
Tak seperti purifikasi, dinamisasi berjalan terseok-seok di tengah
hegemoni purifikasi. Ada semacam kesan, dinamisasi dipahami sebatas mendirikan
panti asuhan, rumah sakit, sekolah dan masjid. Tentu saja makna seperti ini
menjadi sempit. Pada masa awal, dinamisasi yang diejawantahkan melalui pendirian
lembaga-lembaga seperti itu cukup relevan dan amat dibutuhkan. Namun dinamisasi
adalah proses yang terus hidup dalam berbagai pemikiran dan gerakan
Muhammadiyah. Tak seperti setting masyarakat tempo dulu, kini
Muhammadiyah berjalan di sebuah zaman yang rentan perubahan. Karena itu,
Muhammadiyah melalui dinamisasinya diharapkan tetap dapat bertahan seiring
berbagai perubahan yang kian kompleks.
Muhammadiyah memang tidak tertandingi dalam kepemilikan lembaga
pendidikan, jumlah masjid, jumlah panti
asuhan, jumlah rumah sakit. Namun dalam beberapa aspek lain seperti pemikiran
Islam klasik maupun kontemporer Muhammadiyah dapat dikatakan terlambat atau
mungkin ketinggalan dibandingkan dengan saudara-saudara dekatnya seperti
Nahdhatul Ulama (NU) atau bahkan mungkin Al-Wasliyah. Kedua saudara dekat
Muhammadiyah itu terlihat lebih responsif. Pemikiran-pemikiran mereka kerap
ditransformasikan melalui berbagai media.
Jauh hari Wertheim sudah mencerrmati bahwa Muhammadiyah secara
perlahan bergerak ke arah ketertutupan. Jika pencermatan Wertheim ditambahkan, sikap
tertutup terjadi karena stagnasi gerakan intelektualisme. Ini berarti
Muhammadiyah ibarat jasad yang kehilangan ruh. Seperti diingatkan Buya Syafii
Maarif bahwa stagnasi intelektualisme merupakan preseden buruk bagi organisasi
ini. Buya Syafii Maarif menginginkan pemikiran-pemikiran Islam yang segar
menjadi sebuah dinamika. Inilah yang menurutnya merupakan karakteristik dari
sebuah gerakan tajdiid. Ia mencita-citakan agar Muhammadiyah menjadi
sebuah komunitas ilmu (ummat al-‘ilm) dan universitas terbuka (open
university) di mana tradisi kajian ilmiah yang bercorak kritis dan rasional
hidup dan berkembang.
Agak sedikit memprihatinkan pada aspek pemikiran ini sebagian warga
Muhammadiyah kurang responsif bahkan curiga. Sebagai organisasi pembaruan yang
bersifat dinamis maka persoalan-persoalan klasik apalagi kontemporer seharusnya
mendapat perhatian serius. Seperti diungkapkan Cak Nur, betapa pun besarnya pujian yang diterima
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi, Muhammadiyah kini menghadapi tugas
berat untuk meningkatkan proses demokratisasi umat dan bangsa dengan jalan
membangun egalitarianisme, toleransi, inklusivisme, moderasi, dan humanisme
universal yang sejati.
Memang tak semua isu itu dapat diterima, perlu pula dilakukan
kajian intensif. Semestinya warga Muhammadiyah memiliki healthy scepticism
(skeptis sehat), mengkaji terlebih dahulu secara kritis kemudian disimpulkan,
bukan sebaliknya sick scepticism (skeptis sakit), rasa curiga yang
berlebihan sekaligus menolak hal-hal yang dianggap mencurigakan. Sikap ini
tentu saja tidak sehat bagi perkembangan tradisi ilmiah di lingkungan
Muhammadiyah. Rasa tidak simpati juga sering ditujukan kepada minoritas warga
Muhammadiyah yang kebetulan mendalami isu-isu sensitif tersebut.
Jika ditelisik lebih jauh, aktivitas Muhammadiyah dari Wilayah
sampai Ranting tetap sama, belum terlihat pemikiran-pemikiran bernas yang
dilontarkan. Jika pun ada, maka pemikiran-pemikiran tersebut tidak berjalan
merata, hanya terjadi pada beberapa komunitas kemudian terkubur ritual
organisasional. Sebab itulah, perlu pula upaya-upaya segar untuk memperbarui beberapa
aspek di dalam tubuh gerakan pembaruan ini. Menurut Hannah Arendt bahwa revolusioner
yang paling radikal sekalipun pada akhirnya akan menjadi konservatif sehari
setelah revolusi selesai. Bukan tidak mungkin Muhammadiyah menjadi lembaga
konservatif tanpa adanya penyegaran.
Potret tersebut menunjukkan bahwa tajdiid yang mengandung
dua makna: purifikasi dan dinamisasi berjalan tidak seimbang. Inilah yang
menyebabkan Muhammadiyah terkesan lambat. Dua kekuatan yang pada awalnya
merupakan ruh Muhammadiyah menjadi terpecah. Peran purifikasi jauh lebih
dominan dan melahirkan hegemoni tersendiri. Fenomena ini dapat dilihat di
antaranya dari berbagai majelis ta’lim di kebanyakan Cabang dan Ranting yang
sebagian besar mengupas masalah iman dan fikih dalam arti sempit ketimbang
isu-isu kemanusiaan. Di sini peran mubaligh Muhammadiyah cukup signifikan dalam
mengemas materi ta’lim yang lebih bercorak humanis dan terbuka, bukan
sebaliknya yang disampaikan justru klaim-klaim kebenaran internal sekaligus
memojokkan pihak lain.
Pada aspek lain pembacaan Azyumardi Azra terhadap Muhammadiyah
perlu dipertimbangkan. Menurutnya, Muhammadiyah seharusnya lebih mengukuhkan
posisinya di jalur tengah. Jalur yang menghubungkan antara pemerintah dengan
masyarakat. Bukan sebagai oposisi, yang dinilainya lebih layak diperankan oleh
partai politik tertentu. Suara moderatisme tetap digaungkan, terutama dalam
kaitannya untuk memutus gerakan Islam transnasional yang kerap melahirkan berbagai
radikalisme di tanah air. Muhammadiyah juga bukan lembaga legal semata yang bekerja
hanya pada wilayah halal dan haram maupun penentu keberadaan hilal.
Seperti dikemukakan Robert W. Hefner bahwa Muhammadiyah ke depan
harus menjadi "a civic
organization" yang berfungsi
sebagai "ruang dialog publik" untuk praksis liberatif terhadap
masyarakat sipil yang lemah, marginal, dan tertindas di satu sisi, dan di sisi
lain berfungsi sebagai "ruang kesadaran kritis" di kalangan sipil
dalam melaksanakan fungsinya sebagai checks
and balances atas kebijakan negara
yang tak demokratis.
Sudah saatnya Muhammadiyah berdaya dan mampu merespons secara
konstruktif berbagai macam isu yang muncul di arena sosial dan politik, tentu
lewat pendekatan kultural. Makna tajdiid mesti dipahami kembali secara
kontekstual. Selanjutnya, Muhammadiyah mesti berperan sebagai kekuatan
pengendali sejarah baik nasional maupun global. Kini Muhammadiyah jangan lagi hanya
berkutat pada isu-isu yang terkait pada soal ideologis dan formalisasi hukum Islam
ke dalam hukum negara, namun juga responsif dengan berbagai isu strategis lain.
Allaahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar